Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
BeritaInternasional

Diskusi PPN 12%: Meningkatkan Kesenjangan Sosial atau Menambah Kesenjangan?

14
×

Diskusi PPN 12%: Meningkatkan Kesenjangan Sosial atau Menambah Kesenjangan?

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

OneNewsNusantara  | PPI Dunia- Diskusi untuk mempelajari dampak dari kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024, Direktorat PPI Institut dan Pengembangan Organisasi, Bidang Advokasi Pelajar, mengadakan diskusi “PPN 12%: Meratakan Kesenjangan atau Memperlebar Jurang Sosial?”

pada tanggal 28 Desember 2024. Bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada ketidaksamaan ekonomi dan sosial di Indonesia telah menjadi subjek perdebatan hangat.

Example 300x600

Narasumber utama diskusi, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, berbicara tentang kebijakan PPN 12%. Ia menekankan bahwa meskipun kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan negara untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, ada risiko besar terhadap ketimpangan sosial yang dapat terjadi.

Menurut Bhima, kenaikan pajak konsumsi ini akan mengakibatkan beban tambahan bagi masyarakat berpendapatan rendah, yang sudah merasa terbebani oleh situasi ekonomi yang sedang berlangsung.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dana PPN dialokasikan untuk proyek yang dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan kelompok yang rentan.

Bhima mengaitkan kebijakan ini dengan fenomena yang disebut sebagai “Paradoks Chilean”. Dalam konteks ini, ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang buruk dapat mengurangi harapan kelas menengah di Indonesia.

Ini dapat menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat, stagnasi penjualan ritel, dan penurunan daya beli, terutama di kalangan masyarakat miskin dan kelas menengah.

Selain itu, diskusi berfokus pada konteks Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) No. 7/2021, yang membentuk dasar kenaikan tarif PPN.

Bhima mengkritik kurangnya partisipasi publik dalam proses tersebut serta keyakinan yang berlebihan dari pemerintah tentang pemulihan ekonomi setelah pandemi.

Ia menyatakan bahwa di tengah tantangan besar seperti utang negara yang jatuh tempo hingga 2030 dan birokrasi yang berat yang memperburuk defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang sosial dengan memberikan beban tambahan kepada masyarakat menengah ke bawah.

Bhima menyarankan pengenaan pajak kekayaan dan optimalisasi sektor strategis seperti tambang dan komoditas sawit sebagai solusi alternatif. Dia berpendapat bahwa kebijakan ini akan lebih efektif dan adil dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat yang kurang beruntung. Untuk memastikan bahwa manfaat pajak didistribusikan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat, ia juga menekankan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan pajak.

Setelah percakapan, Bhima mengatakan bahwa siswa Indonesia yang berada di luar negeri harus kembali ke rumah dan membantu membangun ekonomi yang inklusif dan bertahan di negara asal. Menurut Vicky Soerjono, kepala direktorat PPI, diskusi seperti ini harus terus berlanjut. Dia mengatakan bahwa pelajar diaspora memiliki kewajiban etika untuk bersuara dan mengkritik kebijakan yang tidak baik.

Diharapkan peserta akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi yang lebih merata bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui diskusi ini.

Diharapkan kebijakan perpajakan yang lebih adil dan efisien dapat dibuat dengan melibatkan berbagai pihak dan meningkatkan partisipasi publik. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial.

 

(Reporter Ria Maha Putri)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *